ISO 9001:2008

Suatu perusahaan, baik perusahaan yang menghasilkan barang atau jasa, untuk dapat meningkatkan daya saingnya membutuhkan suatu sistem manajemen terpadu yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.

ISO 14001:2004

Penerapan ISO 14001 dapat memberikan kerangka kerja yang efektif dan efisien untuk pengelolaan Sistem Manajemen Lingkungan pada perusahaan.

OHSAS 18001:2007

Perusahaan yang berorientasi kepada peningkatan mutu tidak hanya terpaku pada masalah kualitas produk yang dihasilkan, tetapi juga tidak terlepas dari implikasi negatif yang ditimbulkan.

SA 8000

Standar SA 8000 adalah berdasarkan pada berbagai norma internasional yang berlaku di tempat kerja termasuk yang berhubungan dengan keadilan sosial, hak-hak para pekerja dan kondisi kerja.

Produk Mainan Wajib SNI

Produk mainan anak-anak di bawah usia 14 tahun wajib memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) mulai Mei 2011. Direktur Industri Aneka Kementerian Perindustrian, Budi Irmawan, berharap, adanya SNI wajib bisa melindungi konsumen dari mainan berbahaya dan melindungi industri dalam negeri dari produk mainan impor yang tak berstandar.

"Sekarang sedang disusun peraturannya, jadi masih digodok dulu. Pemberlakuannya kira-kira pertengahan bulan Mei tahun depan".

Ia menjelaskan, kebijakan ini seakan menjadi jawaban panjang terhadap campur tangan pemerintah dalam mengantisipasi maraknya produk mainan impor, termasuk dari China yang diduga banyak mengandung zat-zat kimia berbahaya.

Sementara, Ketua Asosiasi Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI), Dhanang Sasongko, menyambut positif kebijakan itu. "Harapan saya, pemberlakuan ini segera dipercepat untuk membendung mainan-mainan impor yang berbahaya bagi kesehatan anak," sebutnya.

Kegembiraan juga dikemukakan produsen mainan asal Semarang, Jawa Tengah, Fakhrudin. "Saya mendukung peraturan SNI wajib tersebut. Hal ini merupakan salah satu langkah untuk memproteksi mainan lokal. Selain itu juga untuk membendung masuknya mainan yang mengandung zat kimia berbahaya," sebutnya.

Sekadar informasi, saat ini ketentuan SNI mainan anak-anak masih mengacu pada SNI Sukarela yang berlaku sejak 2004. Dalam revisi ini, pemerintah akan menggunakan ketentuan ISO 2009 yang menggantikan dasar standar mainan untuk anak-anak di Eropa sesuai peraturan EN No 71 yang sebelumnya diadopsi di Indonesia.

Sumber : www.harian-global.com

Mutu Pelayanan Kesehatan Kabupaten Perlu Peningkatan

Pelayanan kesehatan dilakukan secara terpadu melalui posyandu, puskesmas, pondok bersalin dan ditunjang dengan system rujukannya melalui rumah sakit, kabupaten, serta kerja sama lintas sektoral dalam mengatasi kebutuhan dasar masyarakat.

Sistem kesehatan Kabupaten terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait dan bergantung satu dengan yang lain. Komponen manajemen dan komponen pelayanan lini (RSUD, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan peranan serta masyarakat dalam bentuk Pos Pelayanan terpadu (Posyandu) dan poliklinik desa (polindes).

Adapun upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan Kabupaten dapat digambarkan dalam alur sebagai berikut :

Input-> proses -> output -> outcome

Input, merupakan sumber daya yang dibutuhkan dalam melakukan pelayanan kesehatan, termasuk gedung, fasilitas tenaga teknologi peralatan, serta obat-obatan, dana informasi dan sebagainya.

Proses, sumber daya yang tersedia tak akan dapat dengan sendirinya melaksanakan pelayanan kesehatan tanpa diorganisasikan dan dikelola untuk dimanfaatkan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan.

Oleh karenanya sumber daya mengalami herbagai proses sebagai berikut :


  • Pengorganisasian dan pengelolaan dari sumber : Perencanaan, monitoring dan eva-luasi. Penyebarluasan tenaga. Pengelolaan fasilitas gedung, peralatan, obat-obatan, vaksinasi serta pemeliharaannya dan logistiknya. Pengelolaan teknologi, informasi misalnya KLB (keja-dian luar biasa) data dan maping.
  • Pengorganisasian pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan dilakukan secara terpadu melalui posyandu, puskesmas, pondok bersalin dan ditunjang dengan system rujukannya melalui rumah sakit, kabupaten, serta kerja sama lintas sektoral dalam mengatasi kebutuhan dasar masyarakat.
  • Pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan. Pelayanan yang diberikan harus meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehability. Pelayanan yang diberikan harus memenuhi syarat ilmu penge-tahuan diterima masyarakat secara fisik dan terjangkau pelaksanaan pelayanan diupa-yakan agar sesuai standar pelayanan yang ditetapkan.

Output, jumlah cakupan yang terjangkau misalnya cakupan imunisasi dan diupayakan tercapai target-target yang ditentukan. Hasil pencapaian tujuan dari pelayanan kesehatan, misalnya: Berkurangnya tetanus neonatus, imunisasi T 1T2 pada ibu hamil. Berkurangnya insiden rate TBC paru-paru, merupakan outcome dari pemberantasan TBC paru.

Mutu dapat diartikan sebagai derajat kesempurnaan penampilan dari pelayanan kesehatan. Untuk mengukur daya derajat kesempurnaan tentunya harus dibandingkan dengan sesuatu kesempurnaan yang diidentifikasikan atau yang ditetapkan yang dinamakan standar.

Standard pelayanan yang ditetapkan. Dalam pelaksanaan pengkajian mutu adakalanya ditemukan masalah yang tidak dapat dipecahkan secara individu, tetapi masuknya masyarakat organisasi, dimana pemecahannya menyangkut seluruh sistem, pendekatannya mutu yang disebut sebagai Total Quality Management (TQM).

Adapun yang mendukung pelaksanaan TQM adalah (1) pelayanan yang dihasilkan, (2) proses, (3) organisasi dan (4) kepemimpinan, agar pelaksanaan TQM berhasil harus ada kepemimpinan sampai ke tingkat bawah.

Caranya memberi wewenang mengambil putusan, walaupun ada kalanya keputusan penting harus dari atas, dengan demikian pelaksana dihargai memberikan inisiatif, inovasi dan kebanggaan menimbulkan motivasi lebih giat bekerja juga membuat keterikatan, karena ikut memiliki keberhasilan pelayanan kesehatan.

Adapun peran Kepala Dinas Kesehatan sebagai seorang manajer ditingkat Kabupaten/khususnya dibidang epidemiologi ia harus melibatkan diri pada pengukuran secara akurat atau angka prevalensi dan insiden sebagai olahan tenaga epidemiologi professional.

Namun Kepala Dinas harus melibatkan diri ke dalam pengukuran efektif, efisien dan cost yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah kesehatan tersebut. Dengan demikian manager selalu diharapkan dengan masalah konprontasi antara pembatasan limited resources need limited.

Sumber : www.analisadaily.com

Gerakan Nasional Penerapan SNI

“Indonesia membutuhkan adopsi standar yang cepat dari Negara-negara lain dengan catatan sesuai dengan karakteristik produsen lokal”, pernyataan dari salah seorang pemirsa yang menyaksikan acara dialog Apa Kabar Indonesia di stasiun TV One disampaikan kepada Dewi Odjar Ratna Komala, Deputi Informasi Pendidikan dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN dan Arifin Lambaga – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Masyarakat Standardisasi Indonesia (DPN MASTAN).

Pernyataan ini sesungguhnya merupakan cermin keinginan masyarakat untuk menerapkan SNI sesuai kepentingannya. Sebagai Negara anggota ISO, IEC dan ITU, Indonesia memiliki hak untuk mengadopsi standar-standar tersebut dan disesuaikan dengan karakteristik produsen local, namun tidak secepat yang diharapkan masyarakat. Proses penyusunan standar melibatkan para pemangku kepentingan, antara lain masyarakat dan memiliki beberapa tahapan yang harus dilewati serta membutuhkan waktu.

Ada proses perumusan rancangan SNI dan konsensus di tingkat panitia teknis, proses jajak pendapat dan e-balotting yang harus melibatkan masyarakat, baru penetapan SNI. Masyarakat dapat membantu proses pengembangan Standar Nasional Indonesia dengan menjadi anggota Masyarakat Standardisasi Indonesia (MASTAN). Sebagai anggota MASTAN, mereka bisa memberi masukan, mengusulkan standar baru bahkan menolak usulan standar yang dinilai merugikan masyarakat luas.

Ketua Umum DPN MASTAN, Arifin Lambaga – menjelaskan bahwa MASTAN yang didirikan pada tahun 2004, merupakan hasil Konvensi Nasional pemangku kepentingan standardisasi. Dideklarasikan pada bulan Desember 2004, oleh 16 pemangku kepentingan dan disaksikan oleh Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia, MASTAN terus tumbuh dan berkembang di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini telah anggota MASTAN telah mencapai 3047 orang.

Dalam menjelaskan pernyataan “Masyarakat masih berorientasi pada harga termurah, belum pada orientasi kualitas produk” Dewi Odjar menjelaskan, pada titik tertentu, harga termurah memang menguntungkan namun pada akhirnya tingkat kerusakan yang ditimbulkan akan membutuhkan biaya yang lebih besar akibat memaksakan mengkonsumsi produk dengan pertimbangan harga termurah. Kita harus mulai menyadarkan masyarakat untuk menjadi bangsa yang baik, Indonesia bangsa yang besar, besar populasi penduduknya, besar potensi sumber daya alamnya, besar potensi kebersamaannya namun masih terkotak-kotak dalam pemikiran. Kita belum terbiasa menjadi bangsa yang menghargai kualitas, bangsa yang menghargai orisinalitas dan hak kekayaan intelektual. Masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk tidak berkualitas dan membajak merk tertentu (merk internasional), ketimbang membeli produk local yang berkualitas, merk local dan berharga “sedikit” lebih mahal daripada produk bajakan.

Usaha untuk mengedukasi publik tentunya tidak dapat dilakukan oleh BSN, bagaimana caranya untuk melibatkan masyarakat secara aktif dalam kegiatan edukasi publik? Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rifky – Host dialog- dijawab oleh Arfin Lambaga dengan menjelaskan “Masyarakat dapat terlibat aktif dalam proses edukasi publik, pengembangan SNI dan aktifitas standardisasi lainnya dengan menjadi anggota MASTAN. MASTAN memiliki koordinator wilayah di sejumlah daerah, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan yang memiliki program kerja mengedukasi publik melalui seminar, workshop, gerak jalan, lomba lukis dan sebagainya ”. Beragam kegiatan edukasi ini bertujuan untuk mengajak masyarakat sadar dan peduli pada produk berkualitas. Masyarakat dapat memilih dalam kelompok-kelompok minat, bidang pengembangan SNI yang ingin diikuti (berdasarkan klasifikasi ICS).

Sumber : www.bsn.go.id

Puskesmas Pondok Gede Kota Bekasi Lulus Sertifikasi ISO 90012008

Dalam Closing Meeting kegiatan Audit Eksternal yang dilakukan oleh Tim Auditor dari Sucofindo, Puskesmas Pondok Gede Kota Bekasi dinyatakan lulus meraih sertifikasi ISO 9001:2008 setelah melewati beberapa tahapan prosedur penilaian yang disyaratkan dalam audit eksternal. Persyaratan untuk meraih sertifikasi ISO 9001:2008 sudah dipenuhi Puskesmas tersebut meski masih ada sekitar 6 poin minor yang harus dilengkapi.

Audit terhadap sistem penilaian dilakukan melalui 2 tahapan yaitu, pemenuhan standard dan kesesuaian dengan implementasi di lapangan. Dari temuan tim auditor, tidak ditemukan kesalahan fatal di tingkat major namun ada 6 poin ketidaksesuaian di tingkat minor dan 4 poin Observasi.

Tim Auditor meminta pihak Puskesmas Pondok Gede memperbaiki kekurangan yang ditemukan dan diharapkan bisa terus mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Apabila dalam kurun waktu enam bulan grafik kualitas pelayanannya semakin menurun, maka sertifikat ISO 9001:2008 yang diterima bisa dicabut kembali karena dinilai tidak mampu mempertahankan standard dari ISO tersebut.

Konsultan Sutendi SE yang saat itu juga hadir menuturkan, bahwa tidak ada yang betul seratus persen dalam penilaian pemenuhan standar. “Yang terpenting tidak ada kesalahan fatal (mayor) dalam temuan, yang artinya auditee benar-benar tidak sanggup memenuhi standar yang disyaratkan. Tapi jika temuannya tingkat minor tidak akan mempengaruhi untuk mendapatkan sertifikasi ISO 9001:2008, namun kekurangan (ketidaksesuaian) tersebut harus diperbaiki”, ujarnya.

Konsultan ISO dari PT Delta Cipta Mandiri itu juga menambahkan agar seluruh staf di Puskesmas Pondok Gede agar tidak takut dengan temuan-temuan tim auditor. Temuan tersebut justru menjadi tantangan ke depan dengan mengejar ketertinggalan tersebut ke arah yang lebih baik.

Menurutnya, itu merupakan tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar merasakan kepuasan dan kenyamanan. Namun dalam kurun waktu 6 bulan ke depan, kekurangan-kekurangan yang ditemukan harus segera diperbaiki.

Sementara itu Kepala Puskesmas Pondok Gede dr. Hj. Vevie Herawati mengaku gembira dengan hasil akhir penilaian tim auditor yang meluluskan persyaratan untuk meraih sertifikat ISO 9001:2008 setelah melalui tahapan panjang.

Kesuksesan ini katanya, berkat dukungan dan kebersamaan seluruh petugas yang terlibat untuk terus berusaha meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat tanpa kenal lelah, serta komitmen bersama dalam penerapan standar ISO 9001:2008 yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Ia juga meminta kepada seluruh staf di Puskesmas Podok Gede agar terus memperbaiki kekurangan yang ditemukan dan diharapkan bisa terus mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

ISO Untuk Sekolah

Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah dan kampus memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah dan kampus. Kebijakan mendorong peningkatan manajemen sekolah adalah baik, tetapi tak harus dicapai dalam bentuk sertifikasi ISO 9001:2000 yang sarat kapital. Demi sertifikasi ISO 9001:2000 diperlukan puluhan juta rupiah (mulai dari persiapan hingga mendapatkan sertifikat). Ujung-ujungnya, beban biaya sertifikasi ISO harus dipikul murid atau mahasiswa.

Sebagai sebuah sistem manajemen mutu, ISO 9001:2000 mendefinisikan ”mutu” dalam nalar industri, yakni untuk kepuasan pelanggan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan hakikat mutu dalam terminologi pendidikan, yang lebih substansial dan kultural. Mutu dalam pendidikan berbicara mengenai pembentukan karakter, pemahaman akan kehidupan, relasi sosial, dan pandangan dunia anak didik.

Isonisasi sekolah telah menjebak pengelolaan pendidikan pada persoalan manajerial belaka, seakan-akan persoalan pendidikan di Indonesia adalah masalah manajemen pengelolaannya. Padahal, jelas, dalam pendidikan, manajemen itu hanya sarana untuk mencapai mutu, bukan sebagai tujuan utama. Sungguh naif bila sebagai sarana kemudian dijadikan tujuan dan diproyekkan.

Oleh sebab itu, sama halnya dengan program RSBI-SBI yang perlu dihentikan, program isonisasi sekolah pun perlu dihentikan. Pengelolaan sekolah perlu berbasis budaya, dana pemerintah yang besar lebih baik diarahkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru daripada untuk membeli sertifikat ISO guna standardisasi manajemen.

Sumber : KOMPAS

PT DCM Menjadi Konsultan ISO 9001 Di Empat SKPD Kota Bekasi

Melalui Daftar Kegiatan Forum SKPD Kota Bekasi Tahun Anggaran 2010, beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Bekasi akan melaksanakan kegiatan Sertifikasi ISO dalam meningkatkan pelayanan yang berstandar internasional kepada masyarakat.

Setelah melalui tahapan Pra Kualifikasi, akhirnya PT DCM (Delta Cipta Mandiri) lolos menjadi pemenang tender pengadaan jasa dan ditunjuk sebagai Konsultan ISO 9001. SKPD yang telah menunjuk PT DCM sebagai Konsultan untuk meraih Sertifikasi ISO 9001 maupun Surveillance ISO 9001 (maintenance), diantaranya adalah Dinas Tata Ruang Kota Bekasi, Bappeda, Puskesmas Pondok Gede, dan Pemerintah Kota Bekasi Bagian Organisasi.

Sebelumnya Pemerintah Kota Bekasi Bagian Organisasi dan Puskesmas Pondok Gede sudah terlebih dahulu meraih Sertifikasi ISO 9001 pada tahun 2009. Kedua SKPD ini melaksanan kegiatan surveillance yang dijadwalkan setiap 1 tahun sekali.

Pemberian ISO dilakukan dalam mengukur seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh SKPD tersebut kepada masyarakat, sehingga akan memacu semangat para pejabat yang ada didalam bidang-bidang tersebut.

Nantinya tim yang melakukan penilaian dalam ISO akan melakukan cek silang dan melihat langsung pelayanan yang diberikan. Penilaian nantinya dilakukan oleh pihak luar sehingga hasilnya murni.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, mengatakan, target ISO 9001 itu diharapkan bisa dicapai pada tahun 2010 ini dan dampak yang bisa dirasakan masyarakat adalah perubahan perbaikan pelayanan dan ketepatan dalam pengurusan.